Senin, 23 November 2009

PSK , satu fenomena kontroversial di kota Bandung



BANDUNG , salah satu kota “tersibuk” ini memiliki begitu banyak fenomena dan hal-hal menonjol yang menarik untuk disorot dan diperbincangkan , dari berbagai aspek tentunya . Ekonomi , politik , sosial , pertahanan dan keamanan , semua aspek ini memiliki “jatah” dalam adanya suatu fenomena .
Salah satu hal yang patut diulas , dan terus ditelaah serta dicari pemecahan masalahnya adalah apa yang terjadi pada kehidupan sosial masyarakat kota Bandung . Apakah perjalanan kota ini lurus –lurus dan mulus-mulus saja ? sesuai fakta yang ada , dan kita telah ketahui bersama bahwa salah satu kota pemilik fenomena soaial terbanyak adalah Bandung. Mengapa ? menurut saya pertama karena faktor penduduknya yang cukup padat , tetapi tidak dapat diimbangi dengan cara mereka dalam men-survive-kan hidupnya, dengan cara yang positif dan halal dan beberapa keadaan psikologis pribadi yang mereka miliki . dengan alasan inilah setiap orang merasa berhak melakukan apa saja demi kelangsungan hidupnya . Dan dengan perspektif ini , yang hamper dimiliki oleh setiap orang , maka bertebaran sudah tindakan-tindakan di luar moral , yang sebenarnya tidak diinginkan setiap orang .
Misalnya adanya tindak kriminal seperti pencurian , pemerkosaan, lalu adanya kemacetan lalu lintas , adanya fakir miskin dan anak terlantar , prostitusi, waria bahkan ada WTS(Wanita Tuna Susila ) atau PSK ( Pekerja Seks Komersial) , dan masih banyak hal lagi yang berada di luar moral dan etika yang ada dan berlaku di Indonesia. Semua ini seperti sebuah “lingkaran setan” yang terus berputar dan tak pernah ada habisnya apabila tidak ada suatu tindak lanjut yang benar-benar full.
Saya ambil satu masalah , fenomena PSK (Pekerja Seks komersial) yang semakin hari semakin menjadi-jadi , walaupun pemerintah serta aparat telah melakukan tindak lanjut. Keberadaan PSK di beberapa tempat sehingga menjadi suatu hal yang digemborkan di Bandung. Bukan berarti kota Bandung mendapat sebutan kota kembang lalu banyak “kembang-kembang liar” berkeliaran mencari umpan. Sebelum kita mencemooh dan berpikir yang terlalu di luar moral dan agama , sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu , apa latar belaang dan motif apa yang dimiliki sehingga keberadaan para PSK semakin “dahsyat” dan para wanita-wanita tersebut memilih pekerjaan sedemikian rupa.




Penjaja seks komersial tidak terbatas oleh umur . Dari umur yang sangat mengejutkan , 14 tahun , sampai ada yang sudah 40 tahunan pun masih senang mencari biaya hidup dengan cara seperti ini , karena tidak ada hal lain yang bisa ia kerjakan .

FAKTOR EKONOMI dan INTERNAL
Menurut beberapa sumber yang saya baca , dan beberapa penuturan teman-teman saya yang pernah berhubungan langsung dengan para PSK , latar belakang mereka memilih pekerjaan ini dikarenakan faktor ekonomi . kebutuhan untuk bertahan hidup , untuk makan dan memenuhi segala keinginannya merupakan salah faktor yang sangat besar , sehingga mereka rela menjajakan hal yang paling berharga yang mereka punya. Selain dari dirinya sendiri , ternyata ada “sumbangsih ide” dari orangtua mereka, sungguh diluar dugaan . Di beberapa daerah , seperti Indramayu (PR-red) , ada beberapa keluarga yang menggap bahwa bisnis pelacuran merupakan suatu hal yang wajar dan baik. Bahkan keluarga menyelenggarakan upacara selamatan agar anak perempuannya menda-pat banyak pelanggan dan dapat mengirim uang untuk keluarganya (Ruhainin, 2002). Wajarlah bila data dari ILO-IPEC (International Labour Organization International Programme on The Elimination of Child Labour) menunjukkan bahwa Jawa Barat merupakan daerah di Jawa dengan jumlah anak yang dilacurkan paling tinggi, sedikitnya ada 9.000 orang. Apalagi adanya krisis global seperti sekarang ini , keberadaan penduduk miskin semakin meningkat , dan tindakan-tindakan seperti ini makin susah untuk ditanggulangi.
Faktor lainnya yang memacu karena para “penjaja” telah terlanjur basah kehilangan keperawanannya , maka dengan begitu saja ia merelakan tubuhnya untuk dinikmati para pria . katanya , “Toh kami malah untung , dan mendapat uang tambahan”. Terlihat sungguh ironis ..

LOKALISASI SARITEM , PSK TETAP MENJAJA
Saritem , salah satu tempat terkenal akan PSK-nya . Para lelaki yang haus akan belaian dan ingin birahinya terpenuhi , kebanyakan langsung “berlari” ke saritem , dan dengan transaksi yang tidak lama , lelaki tersebut telahmendapatkan apa yang diingikannya .

Hal ini lama berlangsung sampai akhirnya Saritem ditutup pada tahun 2004 silam , sebagai salah satu penyikapan pemerintah dan aparat atas fenomena PSK yang kian hari kian membludak. Disegel dan ditutupnya Saritem juga sangat disetujui oleh Walikota Bandung
Tetapi ternyata hal ini tidak menyurutkan dan mematahkan semangat para pekerja PSK . seperti kata pepatah , “mati satu tumbuh seribu” . “Saritem ditutup , tumbuh dan berkembang beberapa kumpulan PSK di beberapa jalanan .
Lokasi yang kerap dijadikan tempat nongkrong para pelacur di wilayah Kabupaten Bandung, antara lain daerah Cipatat, Cikalong Wetan, Cijapati, Cikancung. Mereka ada di warung remang-remang (warem)tempat karaoke, dan sarana hiburan lainnya. PSK jga bertebaran di sekitaran Jl. Asia Afrika, Jl. Jenderal Sudirman, Jl. Dewi sartika, dan sebagainya. Lokalisasi PSK memang tidak ada di kawasan tersebut, namun jumlah PSK yang tercatat di kantor Dinas Kesejahteraan Sosial Kab.Bandung mencapai 269 orang. Entah ada berapa PSK yang tidak terdata dan tetap berkeliaran di wilayah Kab. Bandung.

BERDAMPAK pada PROSTITUSI & HIV AIDS
Kadang dari hal ini , kita dapat menilai bahwa PSK bukan hanya sebagai subjek yang merusak , tetapi dalam hal ini ia juga sebagai korban . Penilain dari sisi lain ini didapatkan atas dasar tidak semua PSK berkeinginan menjadi PSK . Banyak dari beberapa PSK yang “berjualan secara terpaksa . Hal ini dikarenakan tuntutan dari mucikari atau para distributornya dengan ancaman-ancaman yang kejam . Dan dengan adanya keterpaksaan ini , saat nasibnya sedang tidak untung , tiba-tiba saja ia kebablasan dan hamil . hal ini yang menyebabkan banyaknya prostitusi di Kota Bandung.



Kondisi ini juga akan membuka peluang terjadinya saling tular berbagai penyakit mulai dari penyakit menular seksual (PMS) hingga HIV/AIDS. Dan ini bukan masalah sepele. Sebuah penelitian, 5 tahun lalu, terhadap para PSK yang beroperasi di sekitar Monumen Nasional (Monas) Jakarta menunjukkan bahwa 80 persen dari mereka mengidap PMS. Diperkirakan kondisi identik juga dialami oleh PSK di Bandung.
Dalam hal jumlah pengidap HIV/AIDS, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat melaporkan, hingga September 2004 jumlah pengidap HIV/AIDS di provinsi tersebut telah mencapai 967 orang. Rinciannya, 875 terinfeksi HIV dan 92 positif AIDS (www.pikas.bkkbn.go.id, 4/11/04). Ironinya, dengan tarif mereka yang relatif murah membuat mereka merasa 'sayang' bila harus 'menghamburkan' uang untuk memeriksakan kesehatannya.
Belum lagi, keengganan PSK untuk meminta para pengguna seks menggunakan kondom akan memperbesar kemungkinan terjadinya kehamilan dan dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari kehamilan tersebut adalah kehamilan yang tidak dikehendaki. Dan aborsi adalah solusi yang kerap diambil. Dengan minimnya kemampuan ekonomi mereka, besar kemungkinan aborsi tersebut dilakukan secara tidak aman.
Dalam banyak razia, kerap dijumpai PSK yang sedang hamil, bahkan ada yang hamil 6 sampai 7 bulan. Bahkan dalam sebuah razia didapati seorang PSK yang baru berusia 18 tahun, tetapi ia sudah hamil enam kali dan semuanya digugurkan. Ada juga anak berusia 16 tahun yang pada kehamilannya yang ketiga mengalami eklamsia, yang membuatnya sekarat (Media Indonesia, 8/4/2002).

ALTERNATIF
Melihat fenomena yang memprihatinkan ini , hati siapa yang tidak tergerak .Seharusnya kita bersama-sama memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk menghilangkan “budaya “ ini , serta membinasakan adanya pelayanan seks bebas ini . Mulailah adanya pemikiran ke depan ,akan nasib bangsa kita .
Dalam kasus ini , hendaknya Departemen Sosial selaku pemerintah dan aparat kepolisian membuat sebuah penggalakan yang benar-benar “manjur” untuk hal ini . Mungkin pemerintah telah melaksanakan beberapa cara , seperti menutup tempat maksiat Saritem , dan melakukan razia beberapa kali Tetapi upaya-upaya ini masih gagal .

Kegagalan ini menurut saya bukan berasala dari macam kegiatannya , tetapi lebih kepada cara dan kemauan serta ketulusan para aparat dan pemerintah dalam menangani kasus ini . Mungkin penindaklanjutan kasus ini dapat dilanjutkan , tetapi alangkah baiknya apabila dilakukan dengan serius dan sepenuh hati.
Sebaiknya , berkaitan dengan usaha pembinaan terhadap para PSK tersebut, dinas terkait berupaya memotivasi peran serta masyarakat sekitar karena bagaimanapun aktivitasnya mereka adalah manusia. Penyuluhan terhadap masyarakat disekitar lokasi prostitusi pun dilakukan. Bagaimanapun juga para penjaja sek komersial tersebut adalah manusia, yang mempunyai hati nurani . Dengan adanya penyuluhan dan pemberian motivasi terhadap mental mereka , setidaknya pasti hatinya akan tergerak.
Apabila ditilik lagi ada empat komponen yang melingkupi prostitusi, yaitu para penjaja seks/PSK, pengguna seks, penyedia fasilitas dan orang yang melindungi praktek prostitusi. Selain itu sesungguhnya bisnis prostitusi juga menganut hukum ekonomi, dimana adanya penawaran adalah akibat dari adanya permintaan.
Tampak bahwa telah terjadi ketimpangan perlakuan dengan hanya menyudutkan para PSK, baik sebagai subyek sekaligus obyek hukum. Mengapa para laki-laki hidung belang tidak juga ikut ditangkap? "Mereka keburu kabur", itulah alasan yang kerap dilontarkan aparat. Sebuah alasan yang mengada-ada, sebab bila memang aparat berkeinginan untuk juga menangkap mereka (sepertihalnya menangkap para PSK), tentu mereka akan berupaya keras untuk mengejarnya. Kalaupun ada laki-laki yang ditangkap, paling-paling mereka hanya di data kemudian dilepas. Mereka tidak diberi ceramah moral, tidak dicek darah, yang kemudian 'dididik' di panti rehabilitasi.

Tidak hanya sebatas melakukan pembinaan terhadap PSK dan memotivasi masyarakat sekitar, petugas dari Dinas Kesejahteraan Sosial juga mengimbau lembaga swadaya masyarakat (LSM), tokoh agama, dan tokoh masyarakat peduli dan bisa menjadi relawan untuk mencegah terjadinya praktik prostitusi.

Upaya pembinaan yang dilakukan Dinas Kesejahteraan Sosial ada dua system yakni upaya pembinaan yang dilakukan di dalam panti dan di luar panti. Pembinaan di dalam panti merupakan hasil razia bekerja sama dengan aparat keamanan dan hasil motivasi. Mereka dikirimkan ke Balai Pemulihan Sosial Wanita (BPSW) Silih Asih Palimanan Cirebon --dulu Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Silih Asih. Sementara pembinaan di luar panti adalah hasil motivasi di lokasi.

Kegiatan tersebut bertujuan sebagai usaha untuk menyadarkan mental para PSK,meski diakui pihak Dinas Kesejahteraan Sosial bahwa upaya tersebut dinilai belum optimal. Selama ini upaya pembinaan banyak dilakukan secara sepihak, seharusnya proses penyadaran tersebut di samping dilakukan terhadap objek juga terhadap subjeknya.
Alternatif lainnya adalah adanya penertiban dengan mengembalikan mereka ke daerah asal. Alternatif itu karena umumnya PSK yang terjaring adalah pendatang dari luar. Jadi mungkin apabila sudah kembali ke kampungnya mereka dapat membuat sesuatu yang berarti .
Jadi diperlukan adanya pemaksimalan penindakan baik dalam pemikiran masalahanya , maupun dalam pelaksanaanya di lapangan. Kalau serius mencari jalan keluarnya, pasti ada solusi untuk menuntaskannya.